KEBUDAYAAN DALAM MASYARAKAT
1.1 PENGERTIAN
Definisi
klasik kebudayaan seperti dikemukakan oleh Edward B. Taylor adalah
keseluruhan kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain
yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Atau secara
sederhana bisa dikatakan kebudayaan adalah segala sesuatu yang
dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu
masyarakat. (Horton dan Hunt,1991:58).
Berdasar asal usul katanya
kebudayaan berasal dari bhs Sansekerta buddhayah (bentuk jamak). Bentuk
tunggal : buddhi (budi atau akal). Jadi berdasarkan asal usul katanya
kebudayaan diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau
akal. Dari bahasa Inggris culture berasal dari bhs Latin (colere) yang
artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani.
Jadi culture adalah segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
mengubah alam. (Soekanto, 1990:188).
Selo Sumarjan & Sulaeman
Sumardi memberikan pengertian kebudayaan sebagai semua hasil karya,
rasa, cipta dan karsa masyarakat. (Soekanto, 1990:189). Karya (material
culture) menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan
jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya,
agar kekuatan serta hasilnya dapat dipergunakan oleh masyarakat.
Rasa
meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai social
yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti
luas. Di dalamnya termasuk misalnya agama, ideology, kebatinan,
kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia
yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Cipta (immaterial culture)
merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir yang menghasilkan
filsafat serta ilmu pengetahuan. Karsa merupakan kecerdasan dlm
menggunakan karya, rasa dan cipta scr fungsional – menghasilkan sesuatau
yang bermanfaat bagi manusia
Kebudayaan dapat dibagi ke dalam dua
bentuk yaitu kebudayaan materi dan nonmateri. Kebudayaan nonmaeri
terdiri dari kata-kata yang dipergunakan orang, hasil pemikiran,m adat
istiadat, keyakinan, dan kebiasaan yang diikuti anggota masyarakat.
Kebuadayaan materi terdiri atas benda-benda hasilkarya misalnya,
alat-alat, mebel, mobil, bangunan ladang yang diolah, jembatan dsb.
Kebudayaan
(culture) sering dicampuradukan dengan masyarakat (society), yang
sebenarnya arti keduanya berbeda. Kebuadayaan adalah sistem nilai dan
norma, sementara masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara
relatif mendiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu
wilayah tertentu, memeliki kebuadayaan yang sama, dan melakukan
sebagain besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Masyarakat adalah
suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain.
Kebudayaan adalah suatu sistem nilai dan norma yang terorganisasi yang
menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut.
1.2. Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat
Kebudayaan
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat.
Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan ang¬gota-anggotanya
seperti kekuatan clam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam
masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali itu,
manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan, baik di bidang
spiri¬tual maupun materiil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di
atas, untuk sebagian besar dipenuhi olch kebudayaan yang bersumber pada
masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar oleh karma kemampuan
manusia adalah terbatas, dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang
merupakan basil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala
kebutuhan.
Hasil karca masyarakat melahirkan teknologi atau
kebudayaan keben¬daan yang mempunyai kegunaan utama di Main melindungi
masyarakat terhadap lingkungan dalamnya. Teknologi pada hakikatnya
meliputi paling sedikit tujuh unsur, yaitu:
1. alat-alat produktif,
2. senjata,
3. wadah,
4. makanan clan minuman,
5. pakaian dan perhiasan,
6. tempat berlindung dan perumahan,
7. alat-alat transpor.
Dalam
tindakan-tindakannya untuk melindungi diri terhadap lingkung¬an alam,
pada taraf permulaan, manusia bersikap menyerah dan semata-mata
bertindak di dalam batas-batas untuk melindungi dirinya. Taraf tersebut
masih banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang hingga kini masih
rendah taraf kebudayaannya. Misalnya suku bangsa Kubu yang tinggal di
pedalaman daerah Jambi, masih bersikap menyerah terhadap lingkungan
alamnya. Rata-rata mereka itu masih merupakan masyarakat yang belum
mempunyai tempat tinggal tetap, hal mana disebabkan karena persediaan
bahan pangan semata-mata tergantung dari lingkungan alam. Taraf
tekno¬logi mereka belum mencapai tingkatan di mana kepada manusia
diberikan kemungkinan-kemungkinan untuk memanfaatkan dan menguasai
ling¬kungan alamnya.
Keadaannya berlainan dengan masyarakat yang
sudah kompleks, di mana taraf kebudayaannya lebih tinggi. Hasil karya
manusia tersebut, yaitu teknologi, memberikan kemungkinan-kemungkinan
yang sangat luas untuk memanfaatkan hasil-hasil alam dan apabila mungkin
menguasai alam. Per¬kembangan teknologi di negara-negara besar seperti
Amerika Serikat, Soviet Rusia, Perancis, Jerman dan sebagainya,
merupakan beberapa contoh dimana masyarakatnya tidak lagi pasif
menghadapi tantangan alam sekitar.
1.3. 7 Unsur Kebuadayaan Universal
Istilah
ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu
dapat dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini. Para
antropolog yang membahas persoalan tersebut secara lebih mendalam,
be¬lum mempunyai pandangan seragam yang dapat diterima. Antropolog C.
Kluckhohn di dalam sebuah karyanya yang berjudul Universal Categories of
Culture" telah menguraikan ulasan para sarjana mengenai hal itu. Inti
pen¬dapat-pendapat para sarjana itu menunjuk pada adanya tujuh unsur
kebu¬dayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1.
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian perumahan,
alat¬-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transpor dan
sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian peter¬nakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (sistern kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan.
7. Religi (sistem kepercayaan).
Cultural-universals
tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih
kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau
cultural aclivity.13 Sebagai contoh, cultural universals pencaharian
hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti
pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain.
Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni
rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci
kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih
kecil lagi yang dise¬butnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian
menetap meliputi unsure-¬unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan
bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya
trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke
dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi umpamanya hewan-hewan yang
menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya
sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items.
Apabila diambil contoh alat bajak tersebut di atas maka, bajak tadi
terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi
yang dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan. Apabila salah-satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka
bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai bajak. Menurut
Bronislaw Malinowski yang selalu mencoba mencari fungsi atau kegunaan
setiap unsur kebudayaan, tak ada suatu unsur kebudayaan yang tidak
mempunyai ke¬gunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai
keseluruhan. Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan kegunaannya,
unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan serta
dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk
organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkari
pemuasan kebutuhan-kebu¬tuhan pokok manusia.
1.4. Kebudayaan sebagai Sistem Norma
Kebudayaan
berarti menyangkut aturan yang harus diikuti - maka kebudayaan
menentukan standar perilaku. Sebagai contoh untuk bersalaman kita
mengulurkan tangan kanan; untuk menggaruk kepala boleh menggunakan
tangan kiri atau kanan. Karena kebudayaabn kita tidak memiliki norma
untuk menggaruk kepala.
Istilah norma memiliki dua kemungkinan arti.
Suatu noema budaya adalah suatu konsep yang diharapkan ada. Kadang
norma statis dianggap sebagai kebudayaan yang nyata. Norma satis sering
disebut sebagai suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya, disetujui
atau tidak. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan
suatu citra kebuadayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang
bersikap.
Berbagai masyarakat telah mencoba berbagai macam pola yang
dapat dilaksanakan. Sebagai contoh contoh suatu masyarakat sudah
emncoba makan sambil berdiri, duduk di lanati, duduk di kursi atau
jongkok di lanatai; mereka boleh makan bersama, atau masing-masing
sendiri; boleh menggunakan tangan, sendok; boleh memulai dengan minum
anggur, makan soup atau tidak ekduanya. Setiap cara merupakan sekumpulan
sejumlah kemungkinan, yang semuanya dapat dikerjakan. Melalui
coba-coba, situasi kebetulan, atau nbeberapa pengaruh yang tidak
disadari suatu masyarakat sampai pada salah satu kemungkinan,
mengulanginya dan menerimanya sebagai cara yang wajar untuk memenuhi
kebutuhan tertentu, pakai baju batik, makan nasi dsb. Generasi baru
menyerap kebiasaan tersebut. Mereka terus menerus melihat cara
berperilaku tertentu, mereka yakin itulah cara yang benar.
Kejadian
itu diteruskan kepada generasi penerus sebagai salah satu kebiasaan.
Folkways (kebiasaan) : cara yang lazim yang wajar dalam melakukan
sesuatu oleh sekelompok orang. Sebagai contoh berjabat tangan, makan
dengan tangan, makan dengan sumpit, makan dengan sendok-garpu,
mengenakan sarung, kopiah, pada kesempayan-kesempatan tertentu. Ada dua
kebiasaan yaitu (1) hal-hal yang seharusnya diikuti sebagai sopan
santun dan perilaku sopan, (2) hal-hal yang harus diikuti karena yakin
kebiasaan itu penting untk kesejahteraan masyarakat. Pandangan salah
benar yang menyangkut kebiasaan disebut tata kelakuak (mores). Jadi
mores (tata kelakuan) adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benar
yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain.
Biasanya
anggota suatu amsyarakat sama-sam merasakan keyakinan yang luhur bahwa
pelanggaran pada tata kelakuakn mereka akan menimbulkan bencana bagi
anggota masyarakat tersebut. Namu kadang-kadang orang luar melihatnya
sebagi sesuatu yang tidak masuk akal. Kalau orang yakin bahwa perilaku
tertentu merugikan, maka ia akan dikutuk oleh tata kelakuan. Tata
kelakua adalah keyakinan tentang salah dan benar dalam
perilaku/tindakan. Sebagi contoh kenduri merupakan kebiasaan masyarakat
jawa. Dipercaya apabila orang tidak melaksanakan kenduri akan
mendatarngkan bencana bagi masyarakat tersebut.
1.5. Etnosentrisme
Etnosentrisme
bisa diartikan sebagai pandangan bahwa kelompoknya sendiri adalah pusat
dari segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai
dgn standar kelompok sendiri. Atau secara bebas bisa dikatakan
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap
kebudayaan kelompoknya sebagai kebuadayaan yang paling baik. Kita
mengasumsikan tanpa pikir atau argument bahwa masyarakat kita merupakan
masyarakat “progresif” sedangkan masyarakat di luar dunia “terbelakang”,
kesenian kita indah, sedangkan kesenian lain aneh.
Etnosentrisme
membuat kebuadayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik buruknya,
tinggi rendahnya dan ebnar atau ganjilnya kebudayaan lain . ini sering
dinyatakan dalam ungkapkan orang-orang terpilih, ras unguul, penganut
sejati, dsb.
1.6. Xenosentrisme
Istilah ini berarti
suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini
adalah kebailkan yang tepat dari etnosentrisme. Ada banyak kebangga bagi
orang-orang tertentu ketika mereka membayar lebih mahal untuk
barang-barang impor dengan asumsu bahwa segala yang datang dari luar
negeri lebih baik.
1.7. Relativisme Kebudayaan
Kita tidak
mungkin memahami perilaku kelompok lain dengan sudut pandang motif,
kebiasaan dan nilai yang kita anut. Relativisme kebudayaan fungsi dan
arti dari suatu unsur adl berhubungan dg lingkungan/keadaan
kebudayaannya. Motif, kebiasaan, nilai suatu kebudayaan hrs
dinilai/dipahami dari sudut pandang mereka. Relativisme kebuadayaan juga
bisa diartikan “segala sesuatu benar pada suatu tempat-tetapi tidak
benar pada semau tempat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar